BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses terjadinya cuaca dan iklim merupakan kombinasi dari variabel-variabel atmosfer yang sama yang disebut unsur-unsur iklim. Unsur-unsur iklim ini terdiri dari radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, awan, presipitasi, evaporasi, tekanan udara dan angin. Unsur-unsur ini berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang disebabkan oleh adanya pengendali-pengendali iklim (Anonim, ? ). Pengendali iklim atau faktor yang dominan menentukan perbedaan iklim antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain menurut Lakitan (2002) adalah (1) posisi relatif terhadap garis edar matahari (posisi lintang), (2) keberadaan lautan atau permukaan airnya, (3) pola arah angin, (4) rupa permukaan daratan bumi, dan (5) kerapatan dan jenis vegetasi.
Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis katulistiwa serta dikelilingi oleh dua samudra dan dua benua. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) dikenal sebagai Sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) dikenal sebagaiSirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia. Pergerakan matahari yang berpindah dari 23.5o Lintang Utara ke 23.5o Lintang Selatan sepanjang tahun mengakibatkan timbulnya aktivitasmoonson yang juga ikut berperan dalam mempengaruhi keragaman iklim. Pengaruh lokal terhadap keragaman iklim juga tidak dapat diabaikan, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi sangat beragam menyebabkan sistem golakan lokal cukup dominan. Faktor lain yang diperkirakan ikut berpengaruh terhadap keragaman iklim di Indonesia ialah gangguan siklon tropis. Semua aktivitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun akan tetapi besar pengaruh dari masing-masing aktivitas atau sistem tersebut tidak sama dan dapat berubah dari tahun ke tahun (Boer, 2003).
Fenomena El-Nino dan La-Nina merupakan salah satu akibat dari penyimpangan iklim. Fenomena ini akan menyebabkan penurunan dan peningkatan jumlah curah hujan untuk beberapa daerah di Indonesia. Menurut Boer (2003) sejak tahun 1844 Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan atau jumlah curah hujan di bawah rata-rata normal tidak kurang dari 43 kali. Dari 43 kali kejadian tersebut hanya 6 kali kejadiannya tidak bersamaan dengan kejadian fenomena El-Nino, hal ini menunjukkan bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ini.
Menurut penelitia Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi seperti yang diungkapkan oleh Irianto (2003) bahwa dampak dari fenomena El-Nino menyebabkan penurunan jumlah curah hujan musim hujan, musim kemarau, awal musim kemarau lebih cepat dan awal musim hujan lebih lambat. Irianto, dkk (2000) juga mengungkapkan bahwa pada saat fenomena El-Nino terjadi, curah hujan untuk wilayah Pulau Jawa dan Nusa Tenggara mengalami penurunan jumlah hujan yang mencapai 60% dari rata-rata curah hujan normal. Berbeda dengan El-Nino, pada saat fenomena La-Nina berlangsung menurut Effendy (2001) akan meningkatkan jumlah curah hujan tahunan sekitar 50 mm dari curah hujan rata-rata normal, dimana saat bulan Desember, Januari dan Februari curah hujan meningkat sangat nyata. Irianto, dkk (2000) mengatakan bahwa pada saat fenomena La-Nina terjadi di Pulau Jawa curah hujan meningkat sampai 140%, sedangkan di Pulau Sumatra dan Kalimantan peningkatannya mencapai 120%. Boer (2003) juga mengatakan bahwa La-Nina berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah curah hujan pada musim kemarau dari pada jumlah hujan pada saat musim hujan.
Liong, dkk (2003) mengatakan bahwa pengaruh ENSO cukup kuat untuk berbagai tempat di Indonesia. Dengan melihat anomali SST pada Niño 3.4, perioda 1961 sd 2001 wilayah Maritime Continent bagian timur mempunyai koefisien korelasi sekitar –0,6 pada waktu terjadi El Niño sedangkan wilayah NAIM (North Australia-Indonesian Monsoon) hanya sekitar –0,3. Untuk wilayah Maritime Continent bagian barat dan SEAM (South East Asia Monsoon) masih belum ada kesimpulan yang jelas karena ada yang berkorelasi –0.7 untuk Padang pada tahun El Niño 97/98 tetapi berkorelasi –0.2 pada tahun El Niño 82/83 demikian juga untuk Medan berkorelasi –0.45 pada tahun 97/98 tetapi berkorelasi 0.11 pada tahun 82/83, sehingga dapat dikatakan korelasinya dengan El Niño sangat lemah. Untuk Maritime Continent barat khususnya Jawa Barat dan Sumatra Selatan pengaruh IOD diperhitungkan. Pada umumnya ketika terjadi El Niño, DMI (Dipole Mode Index) positif sehinga efeknya saling memperkuat tetapi ada kasus ketika bukan tahun El Niño Indonesia kering, ternyata ketika itu DMI positif, jadi tahun Indonesia kering ketika bukan tahun El Niño dapat dijelaskan dari pengaruh IOD. Menurut Hendon (2003) dalam Aldrian dan Susanto (2003) variabilitas SST di Niño 3.4 diperkirakan mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh Indonesia, sedangkan variabilitas SST di Samudera Hindia hanya mempengaruhi 10-15% curah hujan di seluruh Indonesia.
BAB II
PENOMENA EL NINO & LA NINA
DALAM PENYIMPANGAN IKLIM
A. Penomena El Nino Dan La Nina
Fenomena El-Nino dan La-Nina merupakan salah satu akibat dari penyimpangan iklim. Fenomena ini akan menyebabkan penurunan dan peningkatan jumlah curah hujan untuk beberapa daerah di Indonesia. Menurut Boer (2003) sejak tahun 1844 Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan atau jumlah curah hujan di bawah rata-rata normal tidak kurang dari 43 kali. Dari 43 kali kejadian tersebut hanya 6 kali kejadiannya tidak bersamaan dengan kejadian fenomena El-Nino, hal ini menunjukkan bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ini.
Menurut penelitia Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi seperti yang diungkapkan oleh Irianto (2003) bahwa dampak dari fenomena El-Nino menyebabkan penurunan jumlah curah hujan musim hujan, musim kemarau, awal musim kemarau lebih cepat dan awal musim hujan lebih lambat. Irianto, dkk (2000) juga mengungkapkan bahwa pada saat fenomena El-Nino terjadi, curah hujan untuk wilayah Pulau Jawa dan Nusa Tenggara mengalami penurunan jumlah hujan yang mencapai 60% dari rata-rata curah hujan normal. Berbeda dengan El-Nino, pada saat fenomena La-Nina berlangsung menurut Effendy (2001) akan meningkatkan jumlah curah hujan tahunan sekitar 50 mm dari curah hujan rata-rata normal, dimana saat bulan Desember, Januari dan Februari curah hujan meningkat sangat nyata. Irianto, dkk (2000) mengatakan bahwa pada saat fenomena La-Nina terjadi di Pulau Jawa curah hujan meningkat sampai 140%, sedangkan di Pulau Sumatra dan Kalimantan peningkatannya mencapai 120%. Boer (2003) juga mengatakan bahwa La-Nina berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah curah hujan pada musim kemarau dari pada jumlah hujan pada saat musim hujan.
Liong, dkk (2003) mengatakan bahwa pengaruh ENSO cukup kuat untuk berbagai tempat di Indonesia. Dengan melihat anomali SST pada Niño 3.4, perioda 1961 sd 2001 wilayah Maritime Continent bagian timur mempunyai koefisien korelasi sekitar –0,6 pada waktu terjadi El Niño sedangkan wilayah NAIM (North Australia-Indonesian Monsoon) hanya sekitar –0,3. Untuk wilayah Maritime Continent bagian barat dan SEAM (South East Asia Monsoon) masih belum ada kesimpulan yang jelas karena ada yang berkorelasi –0.7 untuk Padang pada tahun El Niño 97/98 tetapi berkorelasi –0.2 pada tahun El Niño 82/83 demikian juga untuk Medan berkorelasi –0.45 pada tahun 97/98 tetapi berkorelasi 0.11 pada tahun 82/83, sehingga dapat dikatakan korelasinya dengan El Niño sangat lemah. Untuk Maritime Continent barat khususnya Jawa Barat dan Sumatra Selatan pengaruh IOD diperhitungkan. Pada umumnya ketika terjadi El Niño, DMI (Dipole Mode Index) positif sehinga efeknya saling memperkuat tetapi ada kasus ketika bukan tahun El Niño Indonesia kering, ternyata ketika itu DMI positif, jadi tahun Indonesia kering ketika bukan tahun El Niño dapat dijelaskan dari pengaruh IOD. Menurut Hendon (2003) dalam Aldrian dan Susanto (2003) variabilitas SST di Niño 3.4 diperkirakan mempengaruhi 50% variasi curah hujan seluruh Indonesia, sedangkan variabilitas SST di Samudera Hindia hanya mempengaruhi 10-15% curah hujan di seluruh Indonesia.
Pengaruh fenomena El-Nino terhadap hujan di Indonesia sangat beragam. Pengaruh El-Nino kuat pada daerah yang berpola hujan moonson, lemah pada daerah berpola hujan equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan pola hujan lokal (Tjasyono, 1997 dalam Irianto, dkk., 2000), sedangkan IOD hanya berpengaruh jelas pada daerah berpola hujan monson (Nugroho and Yatini, 2007).
Selain akibat pengaruh fluktuasi suhu permukaan laut di samudera pasifik dan Samudera Hindia (ENSO dan IOD), fenomena fase aktif osilasi intra-musiman yg dikenal sebagai MJO (Madden-Julian Oscillation) juga mempengaruhi variabilitas hujan di Indonesia. MJO adalah osilasi/gelombang tekanan (pola tekanan tinggi-tekanan rendah) dengan periode lebih kurang 48 hari yang menjalar dari barat ke timur. Biasanya berawal di pantai timur Afrika kemudian menjalar ke timur dan menghilang di bagian tengah Pasifik . Menurut Geerts and Wheeler (1998) MJO akan menyebabkan terjadinya variasi pada pola angin, suhu permukaan laut (SPL), awan dan hujan. fase aktif MJO bila bersamaan waktunya dengan dengan musim hujan (Desember, Januari dan Februari) atau angin munsoon barat dapat menyebabkan terjadinya peningkatan curah hujan sekitar 200%. gambar di bawah menunjukkan pergerakan pola hujan serta anomalinya pada daerah-daerah yang dilewati oleh MJO.
1. El Nino
merupakan fenomena global dari sistem interaksi laut dan atmosfer yang ditandai dengan memanasnya suhu muka laut di Pasifik Ekuator atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut positif. Menurut bahasa Peru El Nino berarti bayi laki-laki karena munculnya di sekitar hari Natal (akhir Desember). El Nino dapat datang setiap dua tahun sampai tujuh tahu sekali. Suhu di Samudra Pasifik menjadi hangat, tetapi tidak di Australia Utara dan Indonesia, Jika hal ini terjadi angin pasat akan melemah dan arahnya berbalik. Udara tropis yang lembap tidak berpusat di Benua Australia. Udara lembap beralih berpusat di Samudra Pasifik hal ini menyebabkan turunya hujan di Samudra Pasifik dan hijrah di belahan Australia dan Indonesia menjadi berkurang. Akibatnya timbul kekeringan dan biasanya di sertai dengan kebakaran rumput dan hutan. Berdasar intensitasnya El Nino dapat dikategorikan sebagai :
a. El Nino Lemah (Weak El Nino) yaitu jika anomali suhu muka laut di Pasifik ekuator positif antara +0.5 ºC s/d +1,0 ºC yang berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.
b. El Nino sedang (Moderate El Nino) yaitu jika anomali suhu muka laut di pasifik Ekuator positif +1,1 ºC s/d 1,5 ºC yang berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.
c. El Nino kuat (Strong El Nino) yaitu jika anomali suhu muka laut di Pasifik Ekuator positif > 1,5 ºC yang berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.
Fenomena El Nino akan menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia akan berkurang tergantung dari intensitas El Nino tersebut. Namun karena posisi geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino.
2. La Nina
merupakan kebalikan dari El Nino. La Nina adalah fenomena mendinginnya suhu muka laut di pasifik Ekuator atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut negatif yang menyebabkan curah hujan di Indonesia secara umum akan bertambah tergantung kepada lokasi dan Intensitas La Nina tersebut. Peristiwa La Nina terjadi ketika angin pasat berhembus dengan keras dan terus menerus melintasi daerah yang dilewati. Angin tersebut mendorong lebih banyak air hangat dibandingkan biasanya . akibatnya semakin banyaklah awan yang terkonsentrasi, sehingga menyebabkan turunya hujan di daerah tersebut lebih banyak. Di daerah tersebut terjadi hujan deras yang mengakibatkan banjir dan air pasang.
3. Perubahan Iklim di Indonesia
Indonesia mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaannya, sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik. Di Indonesia terdapat tiga jenis iklim yang mempengaruhi iklim di Indonesia, yaitu iklim musim (muson), iklim tropika (iklim panas), dan iklim laut. Ketiga jenis iklim tersebut adalah:
a. Iklim Musim (Iklim Muson)
Iklim jenis ini sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan. Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu Angin musim barat daya (Muson Barat) dan Angin musim timur laut (Muson Tumur). Angin muson barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan. Angin muson timur bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober yang sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau.
b. Iklim Tropis/Tropika (Iklim Panas)
Wilayah yang berada di sekitar garis khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis, sedangkan negara Eropa dan Amerika Utara mengalami iklim subtropis. Iklim tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang banyak curah hujan atau Hujan Naik Tropika.
c. Iklim Laut
Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan yang tinggi Jika kita cermati unsur iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan, karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang sama, diantaranya ada yang mempunyai pola munsonal, ekuatorial dan lokal.
4. Hubungan Perubahan Iklim Terhadap Bencana Alam di Indonesia
Menurut beberapa sumber (Diantaranya dari http://iklim.dirgantara-lapan.or.id/), iklim di Indonesia telah menjadi lebih hangat selama abad 20. Suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0,3 ˚C sejak 1900 dengan suhu tahun 1990an merupakan dekade terhangat dalam abad ini dan tahun 1998 merupakan tahun terhangat, hampir 1 ˚C di atas rata-rata tahun 1961-1990. Peningkatan kehangatan ini terjadi dalam semua musim di tahun itu. Curah hujan tahunan telah turun sebesar 2 hingga 3 persen di wilayah Indonesia di abad ini dengan pengurangan tertinggi terjadi selama perioda Desember- Febuari, yang merupakan musim terbasah dalam setahun. Curah hujan di beberapa bagian di Indonesia dipengaruhi kuat oleh kejadian El Nino dan kekeringan umumnya telah terjadi selama kejadian El Nino terakhir dalam tahun 1082/1983, 1986/1987 dan 1997/1998. Lalu muncul pertanyaan, adakah hubungan antara bencana di Indonesia terkait dengan aktivitas global semacam pemanasan global serta El Nino? Jika ada, apa implikasinya terhadap bencana ekologi dan manajemen sumber daya air kita? Banjir dan kekeringan pada dasarnya terkait dengan kemampuan alam dan manusia mengelola ketersediaan air di Bumi. Banjir terjadi karena jumlah air hujan yang turun di daratan dalam intensitas berlebihan pada saat alam tidak mampu menampung. Kemudian dalam skala lokal intensitas curah hujan yang amat ekstrem dalam waktu lama akan menjadi penyebab banjir besar dan longsor di banyak tempat. Sementara itu, kekeringan terjadi karena jumlah hujan yang turun tidak mencukupi kebutuhan kehidupan. Kemudian ketersediaan air yang kian terbatas akan meningkatkan kompetisi untuk mendapatkan dan tidak jarang menimbulkan konflik dalam pemanfaatan. Jika kita melihat dalam skala lebih luas, peningkatan suhu secara global menyebabkan terjadinya percepatan pelelehan lapisan es di Kutub Utara dan Kutub Selatan sekaligus terjadinya pencairan dan penipisan lapisan gunung-gunung es di dunia. Dilain pihak kemarau panjang yang disebabkan fenomena El Nino yang memengaruhi siklus hidrologi lokal dan regional akan menyebabkan kian kritisnya ketersediaan air untuk menopang kebutuhan 6,5 miliar penduduk Bumi saat ini.
KESIMPULAN
· Adapun definisi perubahan iklim adalah : berubahnya kondisi fisik atmosfer, bumi antara suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sector kehidupan manusia dan lingkungan hidup.
· Pada dasarnya bumi selalu mengalami perubahan iklim dari waktu ke waktu. Hanya saja di masa lampau perubahan tersebut berlangsung secara alami sedangkan saat ini perubahan iklim lebih disebabkan oleh ulah manusia sehingga sifatnya lebih cepat dan drastis.
· setelah memasuki abad-abad terakhir, sebagian aktivitas manusia di bumi telah membuat planet ini kian panas. Jika kita lihat kebelakang maka fenomena pemanasan global bisa dikatakan berawal sejak revolusi industri, tingkat karbon dioksida meningkat tajam di udara. Itu bias disebabkan dengan adaya efek rumah kaca.
· timbulnya peristiwa ekstrem umumnya diasosiasikan dengan terjadinya penyimpangan iklim yaitu suatu penyimpangan cuaca dan iklim dari kondisi umum atau reratanya dalam selang waktu tertentu.
· Salah satu bentuk penyimpangan cuaca dan iklim adalah terjadinya fenomena El Nino dan La Nina yang akhir-akhir ini kerap terjadi,katanya.
· Kejadian El Nino biasanya berhubungan dengan kemarau panjang atau kekeringan, sementara La Nina berhubungan dengan banjir.
· Penyimpangan iklim akibat terjadinya El Nino dan La Nina telah menimbulkan dampak negatif yang luas pada kehidupan manusia. Kerugian akibat El Nino telah menyebabkan meningkatnya lahan kekeringan delapan sampai sembilan kali lipat pada luas tanaman dibanding pada kondisi normal.
· Demikian juga adanya La Nina menyebabkan meningkatnya luas tanaman terkena banjir empat sampai lima kali lipat dari normal. "Selain itu akibat penyimpangan iklim telah menyebabkan meledaknya populasi hama dan penyakit tertentu pada tanaman,"
DAFTAR PUSTAKA